Sejarah berdiri dan berkembangnya dinasti Mughal

 

     Dinasti Mughal adalah salah satu diantara kemegahan Islam yang tidak dapat dilupakan. Pada zaman dahulu, bangsa mughal terkenal sebagai perusak besar kebudayaan Islam yang telah didirikan oleh Abbasiyah, yang dikepalai oleh Hulagu Khan, namun anak cucu mereka malah menjadi penyiar Islam yang gagah perkasa (Hamka, 1975, p. 139).

     Dinasti Mughal (1256-1858 M) merupakan kekuasaan Islam terbesar pada anak benua India, yang didirikan oleh Zahiruddin Babur (1526-1539 M), salah satu dari cucu Timur Lenk. Dia berambisi dan bertekad untuk menaklukkan Samarkhand yang menjadi kota penting di Asia Tengah pada masa itu. Dengan bantuan dari Raja Safawi, Ismail I, akhirnya dia berhasil menaklukkan Samarkhand tahun 1492 M, dan pada tahun 1504 M Babur menduduki Kabul, Ibu kota Afganistan.

     Setelah Kabul dapat ditaklukkan, Babur meneruskan ekspansinya ke India yang saat itu diperintah Ibrahim Lodi, yang sedang mengalami masa krisis, sehingga stabilitas pemerintah menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, dia meminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim Lodi di Delhi. Permohonan itu langsung diterimanya. Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai Punjab dengan ibu kotanya Lahore. Setelah itu, dia memimpin tentaranya menuju Delhi.

     Pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat di Panipat antara Ibrahim Lodi dan Zahiruddin Babur, yang terkenal dengan pertempuran Panipat I. Ibrahim Lodi terbunuh dan kekuasaannya berpindah ke tangan Babur, sejak itulah berdri dinasti Mughal di India, dan Delhi dijadikan ibu kotanya.

     Berdirinya Dinasti Mughal menyebabkan bersatunya raja-raja Hindu Rajput (seperti Rana Sanga) di seluruh India dan menyusun angkatan perang yang besar untuk menyerang Babur. Namun gabungan pasukan Hindu dapat dikalahkan Babur, sementara itu, di Afghanistan sendiri masih ada golongan yang setia kepada keluarga Lodi. Mereka mengangkat adik kandung Ibrahim Lodi, Mahmud menjadi sultan. Tetapi Sultan Mahmud Lodi dengan mudah dikalahkan Babur dalam pertemupuran dekat Gogra tahun 1529 M (Ahmed, 2003).

     Pada tahun 1530 M Babur meninggal dunia dalam usianya 48 tahun. Dia meninggalkan wilayah kekuasaan yang luas, kemudian pemerintahan pun dipegang oleh anaknya Humayun. Pada pemerintahan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M), kondisi negara tidak stabil karena dia banyak menghadapi tantangan dan perlawanan dari musuh- musuhnya. Di antara tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi.

     Pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Sher Khan di Kanauj. Dalam pertempuran ini Humayun kalah dan melarikan diri ke Kendahar dan kemudian ke Persia. Dipengasingan ini, dia menyusun kekuatannya, dan di sinilah dia mengenal tradisi Syi’ah. Pada saat itu, Persia dipimpin oleh penguasa Safawiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, dia kembali menyerang musuh-musuhnya dengan bantuan raja Persia. Humayun dapat mengalahkan Sher Khan setelah lima belas tahun berkelana meninggalkan Delhi. Dia kembali ke India dan menduduki tahta kerajaan Mughal pada tahun 1555 M. Pada tahun 1556 Humayun meninggal dunia karena jatuh dari tangga istananya pada bulan Januari 1556 dan kemudian digantikan oleh anaknya Akbar Khan.

     Akbar Khan (1556-1605) sewaktu naik tahta berumur 15 tahun, sehingga pada masa awal pemerintahannya, Akbar menyerahkan urusan kenegaraan pada Bairam Khan, seorang Syi’i. Awal periode ini ditandai dengan berbagai pemberontakan. Bairam Khan harus menghadapi sisa-sisa pemberontakan keturunan Sher Khan yang masih berkuasa di Punjab. Selain itu pemberontakan yang mengancam pemerintahan Akbar adalah seorang penguasa Gwalior dan Agra. Pasukan Hemu berusaha memasuki kota Delhi, Bairam Khan menyambut pemberontakan ini dengan mengarahkan pasukan yang besar. Pertempuran antara keduanya dikenal sebagai pertempuran Panipat II, terjadi pada tahun 1556 M. Pasukan Bairam Khan berhasil memenangkan peperangan ini, sehingga wilayah Agra dan Gwalior dapat dikuasai secara penuh (Yatim 2002:147–149).

     Setelah Akbar dewasa, dia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan mencoba untuk memberontak, tetapi usahanya ini dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai melakukan ekspansi. Dia berhasil mengusai Chundar, Ghond, Chritor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Admadnagar, dan Ashgar.

     Setelah Akbar dewasa, dia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan mencoba untuk memberontak, tetapi usahanya ini dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai melakukan ekspansi. Dia berhasil mengusai Chundar, Ghond, Chritor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Admadnagar, dan Ashgar. Ilmu pengetahuan dan peradaban. Kemajuan di bidang ekonomi ditandai dengan kemajuan sektor pertanian dan perindustrian.

     Setelah Akbar, maka penguasa selanjutnya adalah Jahangir (1605-1628 M), putera Akbar. Jahangir penganut ahlusunnah wal jamaah. Pemerintahan Jahangir juga diwarnai dengan pemberontakan, seperti pemberontakan di Ambar yang tidak mampu dipadamkan. Pemberontakan juga muncul dari dalam istana yang dipimpin oleh Kurram, puteranya sendiri. Dengan bantuan panglima Muhabbat Khar, Kurram menangkap dan menyekap Jahangir. Tetapi berkat usaha permaisuri, permusuhan ayah dan anak dapat didamaikan.

     Akhirnya setelah Jahangir meninggal, Kurram naik tahta dan bergelar Muzaffar Shahabuddin Muhammad Shah Jehan Padishah Ghazi. Shah Jehan (1627-1658 M), pemerintahannya diwarnai dengan timbulnya pemberontakan dan perselisihan di kalangan keluarganya sendiri. Seperti dari ibunya, adiknya Syahriar yang mengukuhkan dirinya sebagai kaisar di Lahore. Namun pemberontakan itu dapat diselesaikannya dengan baik. Pada pemberontakan 1657 M, Shah Jehan jatuh sakit dan mulai timbullah perlombaan dikalangan anak-anaknya, karena saling ingin menjadi kaisar. Dalam pertarungan itu, Aurangzeb muncul sebagai pemenang karena telah berhasil mengalahkan saudara-saudaranya yaitu, Dara, Sujak, dan Murad (Mahmudunnasir, 1994, p. 369).

     Aurangzeb adalah Sultan Mughal besar terakhir yang memerintah mulai tahun 1658-1707 M. Dia bergelar Alamgir Padshah Ghazi. Dia adalah penguasan yang berani dan bijak. Kebesarannya sejajar dengan raja Akbar, pendahulunya. Di akhir pemerintahannya, dia berhasil menguasai Deccan, Bangla dan Aud. Sistem yang dijalankan Aurangzeb banyak berbeda dengan pendahulunya. Kebijakan-kebijakan yang telah dirintis oleh raja-raja sebelumnya banyak diubah, khususnya yang menyangkut hubungan dengan orang Hindu. Aurangzeb adalah penguasa Mughal yang membalik kebijakan konsiliasi dengan Hindu. Di antara kebijakannya adalah melarang minuman keras, perjudian, prostitusi, dan penggunaan narkotika (1659 M). Tahun 1664, dia juga mengeluarkan dekrit yang isinya tidak boleh memaksa perempuan untuk satidaho, yaitu pembakaran diri seorang janda yang ditinggal mati suaminya, tanpa kemauan yang bersangkutan. Akhirnya praktik ini dihapus secara resmi pada masa penjajahan Inggris. Aurangzeb juga melarang pertunjukan musik di istana, membebani non muslim dengan poll-tax, yaitu pajak untuk mendapatkan hak memilih (1668 M), menyuruh perusakan kuil-kuil Hindu dan mensponsori pengkodifikasian hukum Islam yang dikenal dengan Fatwa Alamgiri.

     Tindakan Aurangzeb di atas menyulut kemarahan orang-orang Hindu. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan pemberontakan di masanya. Namun, karena Aurangzeb sangat kuat, pemberontakan itu pun dapat dipadamkan. Meskipun pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat dipadamkan, tetapi tidak sepenuhnya tuntas. Hal ini terbukti ketika Aurangzeb meninggal (1707 M), banyak wilayah-wilayah memisahkan diri dari Mughal dan terjadi pemberontakan oleh golongan Hindu. Setelah Aurangzeb meninggal (1707 M), maka dinasti Munghal ini dipimpin oleh sultan-sultan yang lemah yang tidak dapat mempertahankan eksistensi kesultanan Mughal hingga berakhir pada raja terakhir Bahadur Syah II (1837-1858 M).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aja Kelalen Mampir